Baru-baru ini, Antonie Dake merilis buku karyanya yang dipandang banyak pihak mendiskreditkan peran Soekarno dan memutarbalikkan fakta sejarah masa itu. Buku itu berjudul Sukarno: Berkas-berkas Soekarno 1965 – 1967. Boleh jadi, buku tersebut memberi sensasi yang tak kalah ramainya dari gosip selebritis atau isu reshuffle di pemerintahan.
Berbeda dari jaman orde baru dulu, dalam era reformasi seperti ini, praktis setiap orang bebas dan berhak untuk menyatakan pendapat atau menerbitkan buku tanpa ada upaya untuk menghambat atau menghalangi atas kepentingan tertentu, sehingga kedewasaan sikap dan kejernihan berpikir kita benar-benar dituntut agar tidak berujung pada dendam atau permusuhan.
Pada acara peluncuran bukunya, secara gamblang Dake berpendapat bahwa Soekarno adalah mastermind kudeta 1 Oktober 1965. Dake juga menyebutkan bahwa Central Intelligent Agency (CIA) maupun Mayjen Soeharto kala itu, tidak memiliki keterkaitan yang kuat. Pernyataan tersebut langsung mendapat respon keras dari Sukmawati Soekaroputri, yang juga ketua Partai Nasional Indonesia Marhaen, Red Banteng.
Dake adalah seorang akademisi dari Belanda yang memperoleh gelar PhD di bidang ilmu politik di Universitas Freire, Berlin. Ia pernah menjadi wartawan dan CEO pada perusahaan media massa. Dake secara kebetulan juga pernah menulis buku In the Spirit of the Red Banteng: Indonesia Communism between Moscow and Peking yang merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor. Sayang, buku tersebut dilarang beredar di Indonesia.
Salah seorang teman yang telah membaca buku ini mengeluh karena isinya sama sekali tidak ilmiah. Ia justru mempertanyakan kapasitas keprofessoran yang diperoleh Dake dari pendidikan di barat. Tesis Dake memang sangat argumentatif, apalagi bukti-bukti sejarah yang mendukung masih merupakan ”dokumen tertutup”. Kita mungkin juga ingat sekitar awal tahun 1990an sempat terbongkar bahwa CIA mempunyai banyak wartawan dan penulis dalam “daftar gajinya”, yang menulis menurut dan sesuai dengan pengarahannya. Memang segalanya serba mungkin, apalagi sehubungan dengan badan intel ini.
Memang saya tidak bisa banyak bercerita tentang pemerintahan Soekarno. Akan tetapi, mengenai kemungkinan keterlibatan Bung Karno terhadap G30S/PKI saya mungkin bisa menjawab: bisa-bisa saja. Tidak tertutup kemungkinan untuk itu. Analogi tentang pengingkaran Bung Karno terhadap G30S/PKI sebenarnya sama saja dengan pengingkaran Pak Harto terhadap insiden 13 Mei. Pengalihan tanggung jawab 13 Mei disebabkan oleh ketidakadilan sosial dalam ras sebagai kambing hitam.
Sukmawati, yang juga hadir pada acara launching buku tersebut, menolak tesis Dake dengan alasan tidak logis karena Soekarno justru jatuh akibat G30S/PKI, seperti halnya Soeharto yang jatuh akibat Mei 1998. Namun, bisa juga diambil analogi bahwa kejatuhan Soeharto adalah konsekuensi skenario yang gagal dalam represi untuk menangkap mahasiswa dan tokoh oposisi seperti ingin mengulang Malari 74. Sayangnya (atau untungnya?) mahasiswa bukannya turun ke jalan melainkan justru menduduki Gedung MPR/DPR. Sesuatu yang mungkin jauh dari prediksi Pak Harto kala itu.
Saya juga pernah berjumpa dengan Pak Harto, walau tidak secara personal. Memang terlihat bahwa beliau adalah orang yang relatif baik, terlepas dari sikap politisnya yang banyak mengundang kritik. Saya rasa, Bung Karno pun juga demikian. Beliau tetap merupakan proklamator bangsa, pahlawan besar dengan kepribadian kuat dan sikap yang perlu diteladani. You all had my respects.
Saat ini saya masih menunggu kiriman buku itu dan belum membacanya. Tapi, apapun isi tulisan tersebut, seharusnya tidak perlu diperpanjang lagi kecuali sekedar sebagai bahan referensi saja. Kondisi negeri ini sudah cukup ricuh dan semrawut. Seharusnya kaum intelek seperti Dake mampu menghadirkan ketenangan dan mempercepat proses pemulihan bangsa ini, bukannya memperkeruh suasana sehingga menimbulkan gonjang-ganjing di dunia persilatan ini. Padahal, nyaris tidak ada dampak konkrit yang secara langsung dapat dinikmati oleh rakyat jelata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar