Senin, 20 September 2010

"DETIK-DETIK MENJELANG PROKLAMASI"


 jakarta-Perang Dunia Kedua telah mengubah wajah sebagian dunia. Jutaan nyawa manusia melayang, dan tatanan politik berubah.
Tentara sekutu akhirnya menghapuskan hegemoni tiga negara, Jerman, Italia dan Jepang. Kemenangan sekutu di Eropa dan Asia, mengakhiri perang dunia selama 6 tahun.
Bom atom yang menghancurkan kota Nagasaki dan Hiroshima pada tanggal 7 dan 9 Agustus tahun 1945, telah membuat panik tentara Jepang di Asia, termasuk di Indonesia. Dan Indonesia pun merdeka.
Namun kemerdekaan ini diraih tanpa perencanaan matang. Intrik politik mewarnai kelompok muda dan tua. Para pemuda memanfaatkan kepanikan tentara Jepang, untuk segera membentuk pemerintahan sendiri yang merdeka.
Bagi Anhar Gonggong, Sejarawan dan Guru Besar Universitas Indonesia kekalahan Jepang adalah peluang besar, karena saat itu terjadi kekosongan pemerintahan.
Namun rupanya ini tidak berjalan mulus, Jepang tidak rela bila Indonesia merdeka. Para pemuda saat itu menolak tegas Badan Pembentukan Jepang yakni BPUPKI/PPKI yang berencana akan memberikan hadiah kemerdekaan bagi Indonesia.
Hadiah itu menurut mereka hanya janji, dan pemuda semakin berang melihat tokoh tua yakni Soekarno dan Hatta lambat memanfaatkan situasi. Bahkan mereka menuduh Soekarno dan Hatta adalah antek-antek Jepang.
Ini memperuncing perbedaan yang sangat tajam pada saat itu antara tokoh tua Soekarno Hatta dan kalangan muda seperti Syahrir, Chairul Saleh, Adam Malik dan AM Hanafi.
Pada tanggal 15 dan 16 Agustus, situasi semakin genting. Para pemuda mengharapkan keberanian Soekarno dan Hatta untuk segera mengambil keputusan. Ada selentingan juga bahwa Jepang akan membunuh kedua tokoh ini.
Namun Seokarno dan Hatta tetap keukeh dan berpegang teguh pada pendirian bahwa kemerdekaan Indonesia harus melalui BPUPKI/PPKI. Pemuda menjadi berang, lalu menculik Soekarno dan Hatta dan membawanya ke Rengas Dengklok.


Mereka Menculik Soekarno
Asrama Menteng nomor 31. Asrama tempat mangkal pemuda Menteng ini awalnya adalahsebuah hotel yang dibangun tahun 1920 bernama Hotel Somper.
Dari asrama ini, para tokoh muda menculik Soekarno dan Hatta. Untuk ukuran saat itu, hotel ini termasuk mewah dan megah di Jakarta. Pada Zaman itu, hotel ini beralih fungsi menjadi kantor sebuah jawatan propaganda Jepang.
Dan tokoh-tokoh inilah yang sering singgah dan berkumpul di gedung ini. Mereka adalah Khairul Saleh, Adam Malik, Sukarni, AM Hanafi dan lain-lain.
Disini mereka juga menimba pendidikan politik dari sang guru Soekarno, Hatta, Moch Yamin, dan Ahmad Soebardjo. Tujuannya untuk mendukung kepentingan Jepang dalam perang di Asia Timur Raya.
Pendidikan politik yang mereka terima justru menjadi bumerang bagi Jepang. Rasa nasionallisme mereka bangkit, sehingga pada tahun 1943 Jepang 'gerah' dan menghentikan kegiatannya di gedung ini.
Tanggal 16 Agustus 1945, sekitar pukul 4 sore, para pemuda membawa Soekarno dan Hatta keluar dari gedung di Jalan Menteng ini, turut serta Fatmawati dan Guntur. Tujuannya adalah Rengas Dengklok, Karawang, Jawa Barat.
Rumah ini masih asli, namun lokasinya sudah berpindah ke jalan sejarah di Desa Tugu Dua, di Rangas Dengklok. Pemiliknya adalah warga keturunan bernama Djiwa Gie Siong. Bangunannya masih kental dengan sentuhan asli Betawi.
Usianya diperkirakan sudah lebih dari 100 tahun. Ada dua kamar tidur dan satu ruangan tengah. Di kamar ini Soekarno sempat beristirahat. Di ruang tengah ini, Soekarno - Hatta dan tokoh muda membuat naskah proklamasi kemerdekaan. Keaslian rumah ini masih terjaga, hanya kursi meja dan tempat tidur sudah dipindahkan ke musium sejarah di Bandung, Jawa Barat.
Pada tahun 1957, pemilik memindahkan rumah ini dari lokasi aslinya, karena arus sungai Citaroem terus menggerusnya. Rumah ini menjadi saksi bisu, penyusunan naskah proklamasi, Soekarno - Hatta dan kalangan muda bersitegang soal isi naskah proklamasi hingga laru malam.



Proklamasi Tanpa Persiapan
Suasana tegang meliputi para tokoh pada waktu itu, karena mereka harus berpacu dengan waktu. Dua tokoh lain, Khairul Saleh dan Adam Malik Cs, sudah tidak sabar. Bila Proklamasi tidak segera dikumandangkan, mereka akan mengambil langkah sendiri.
16 Agustus dini hari, para tokoh muda membawa Soekarno dan Hatta ke Jakarta karena naskah proklamasi harus segera di kumandangkan.
Rumah Laksamana Maeda. Rumah ini terletak di Jalan boulevard Orange yang sekarang berganti nama menjadi Jalan Imam Bonjol No 1, Menteng, Jakarta Pusat.
Ia menjadi saksi sejarah, saat detik-detik menjelang proklamasi. Pemilik rumah bernama Laksamana Muda Maeda petinggi angkatan laut yang bertugas sebagai kepala penghubung angkatan laut dan darat Jepang.
Bangunan ini bergaya khas tahun 20-an, memiliki 4 ruangan yang masing-masing mempunyai catatan sejarah sendiri. Disinilah isi teks proklamasi akhirnya dirumuskan, setelah para tokoh gagal menyepakati di Rengas Dengklok.
Ada 4 ruangan di lantai satu. Suasana saat itu begitu tegang dan sibuk. Mulai dari perumusan naskah hingga penandatangan naskah proklamasi melewati empat ruangan kamar ini. Sehingga muncul mitos bahwa setiap ruangan kamar mempunyai aura keberuntungan.16 Agustus tengah malam, Soekarno-Hatta tiba di rumah ini dari Rengas Dengklok.
Naskah asli yang masih dalam bentuk corat-coretan ini, oleh Sayuti Melik dan BM Diah diketik ulang.
Sayuti Melik sempat membuang naskah asli yang merupakan konsep awal. Namun insting wartawan seorang BM Diah, tergerak, lalu memungutnya lalu mengamankan dalam sakunya.
Berkat kejelian BM Diah, Kita hingga kini masih bisa menyaksikan naskah bersejarah ini. Naskah dalam bentuk ketikan ini kemudian ditandatangani Soekarno-Hatta diatas sebuah piano.
Saking begitu tergesa-gesanya para tokoh ini tidak sempat menyiapkan bendera negara. Konon pada malam itu juga, mereka membuat bendera dari kain sprei putih dan kain merah milik dari seorang penjual soto yang kebetulan mangkal di sekitar rumah Soekarno.
Situasi begitu kritis, ketika menjelang pembacaan, Soekarno dikabarkan menderita sakit malaria. Hingga pukul 08.00 WIB pagi, Presiden Pertama Republik Indonesia masih belum bisa bangun.
Begitulah situasi saat itu, kacau, tegang dan tidak terencana rapih. Akhirnya proklamasi pun dibacakan dan merah putih berkibar kendati di tiang bambu. Tidak ada satu orang wartawan pun mengabadikan peristiwa bersejarah itu.
Beruntung, Franz Mendur dari harian Asia Raya yang sempat merekam dalam jepretan kamera. Foto-fotonya inilah yang menjadi satu-satunya bukti sejarah. Dan dengan foto-foto ini akhirnya Kami pun bisa merangkumnya dalam bentuk tayangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar